Wednesday 3 May 2017

Bertemu Peri Flamboisine



dimuat di Majalah Bobo, Mei 2017


Ambia berlari mengitari kebun bunga. Sesekali tangan mungilnya memetik bunga di kiri-kanan. Membuangnya begitu saja.
“Ambia! Jangan!” teriak Aulia.
Bukannya meminta maaf, Ambia malah menjulurkan lidahnya. Sekali lagi tangannya merenggut bunga mawar dari semak di dekatnya. Mengacungkan ke udara, sebelum akhirnya membuang ke rerumputan. Mata Aulia melebar. Sambil terkikik geli, Ambia berlari meninggalkan kebun.
Di dalam rumah, Ambia meneguk habis segelas besar air dingin. Menjahili Aulia dan bunga-bunganya sudah menjadi rutinitas harian. Habis, sebal sih! Gara-gara bunga itu, Aulia selalu sibuk sendiri! Bahkan beberapa hari terakhir ini, banyak tetangga yang meminta bibit bunga dari kembarannya tersebut.
“Konyol!” gerutu Ambia berjalan kembali ke kebun. Ia membawa sebuah buku di tangan.“Kenapa sih Aulia selalu sibuk begitu? Menanam bunga kan gampang!”
Tak lama kemudian, Ambia asyik membaca buku petualangannya. Suara berdesing di dekat telinga mengganggu konsentrasinya. Ambia mengibaskan tangan. Namun, bukannya menjauh, suara mendesing itu terdengar makin mendekat.
“KYA!!” Ambia berteriak ngeri menatap dua bola mata besar di depan wajahnya. Kepalanya terantuk pohon. Ambia pun pingsan.
**
Begitu terbangun, tubuhnya terasa ringan sekali. Ambia melihat pemandangan di kiri, kanan, bahkan di belakangnya dengan jelas. Ada apa dengan mataku? batin Ambia tidak mengerti.
“Hei, mengapa kau melamun?” sergah sebuah suara, “Ayo, angkut serbuk sarinya!”
Ambia hampir saja berteriak, lagi-lagi ia melihat seekor capung di hadapannya. Eh tunggu dulu! Ia melihat ke arah tangannya yang terjulur lurus. Tangan itu begitu kurus. Seperti kawat kecil yang dilengkungkan. Perlahan, Ambia menatap pantulan dirinya di sungai. Nafasnya tercekat.
“TIDAAAK! Aku bukan capung! Aku ini manusia!!”
Capung di hadapannya menatap datar. “Jangan bercanda. Ini waktunya bekerja. Ayo cepat, angkut serbuk sari itu!”
Tanpa menunggu lagi, capung tersebut meletakkan setumpuk serbuk sari di tangan Ambia. Tak hanya itu, capung itu pun mendorong Ambia, mengajaknya untuk bergerak. Sore itu sungguh melelahkan! Ambia terbang dari satu bunga ke bunga lain. Menempelkan setiap serbuk sari. Terkadang, angin nakal menerbangkannya. Membuat Ambia harus bekerja ulang menempel serbuk sari tersebut.
Tak hanya itu, Ambia harus terbang dengan cepat. Berkelit ke kiri dan ke kanan. Menghindarkan diri dari para lebah, terutama dari jarum di tubuh mereka. Ya, tak hanya capung, para lebah pun membantu penyerbukan bunga. Setiap hari, mereka memiliki target bunga dalam proses penyerbukan.
Ketika senja tiba, capung yang bertubuh paling besar menghentikan kegiatan. Perintah itu langsung dituruti capung-capung yang lain. Saat sedang duduk-duduk beristirahat, Ambia baru menyadari, para capung itu menggunakan kalung bintang yang bersinar di kegelapan. Ambia memegang lehernya. Ia menemukan kalung bintang yang sama. Sinarnya kebiruan. Indah sekali!
“Itu kalung estetika pemberian Flamboisine, sebagai tanda terima kasih karena sudah 3 tahun berturut-turut taman bunga kita menjadi taman terindah,” capung di sebelah Ambia menjelaskan.
Melihat Ambia yang hanya terdiam, capung itu melanjutkan. “Tentu saja, bukan hanya karena kerja keras kita. Di dunia sana, manusia pun banyak membantu dengan berbagai cara. Misalnya, memberi pupuk, menyiram dengan teratur, sampai mencabuti tanaman liar di sekeliling semak bunga.”
Tiba-tiba saja Ambia teringat Aulia. Kembarannya yang selalu menengok kebun bunga mereka setiap hari. Memastikan menyiram mereka, memberi pupuk sedikitnya seminggu sekali, dan menghabiskan banyak waktu mencabuti tanaman liar meski panas matahari menyengat. Sementara dirinya?
Ambia belum sempat mengatakan apapun ketika tiba-tiba tercium aroma harum di udara. Seperti bunga melati dan bolu kukus yang baru saja matang.
“Flamboisine datang!”
Bersama dengan seruan itu, Ambia menatap sosok gadis yang muncul di hadapannya. Kulitnya berkilau seperti sinar rembulan, sepasang sayap bergemerisik di punggungnya. Kepalanya dihiasi aneka bunga warna-warni – ada merah, kuning, jingga, ungu, dan putih. Ambia mengenal jenis bunga itu. Aulia pernah membuat satu rangkai penuh untuk ulang tahun Kepala Sekolah.
“Ini bunga flamboyan. Ratunya para bunga,” ucap Aulia saat itu.
Suara Flamboisine mengembalikan Ambia dari lamunannya. Peri itu mengucapkan terima kasih atas kerja keras para capung sepanjang hari ini. Suaranya terdengar merdu.
“Semoga bunga-bunga yang kalian bantu hari ini akan mekar dengan indah. Ini sekaligus akan menjadi tanda terima kasih untuk para manusia yang ikut merawat mereka.” Flamboisine tersenyum mengakhiri pesannya. Untuk sesaat, mata peri bunga itu beradu dengan mata Ambia. Senyum hangatnya membuat Ambia merindukan Aulia. Tiba-tiba saja, Ambia merasakan kantuk teramat sangat.
**
“Hei, Ambia .. bangun …”
Ambia merasakan guncangan pelan. Ketika membuka mata, ia mendapati Aulia memandangnya khawatir.
“Kamu baik-baik saja? Aku mendengar teriakanmu tadi.”
Ambia mengabaikan pertanyaan Aulia. Ia menatap tangannya yang sudah kembali seperti semula, begitu pula kepala dan tubuhnya. Sambil bersorak gembira, Ambia memeluk Aulia, membuat kembarannya tersebut heran bukan buatan.
Namun, ada yang lebih mengherankan. Sejak hari itu, Ambia tidak pernah mengusili Aulia lagi. Gadis itu tidak sembarang memetiki bunga atau sekedar duduk-duduk menonton kesibukan Aulia. Sebaliknya, dengan penuh semangat Ambia membantu Aulia merawat kebun bunga mereka. 


No comments:

Post a Comment